DARURAT TATA KELOLA DATA

  • view : 1 | ARTIKEL | Detail

Jakarta - Polemik soal data kembali mengemuka dalam beberapa hari terakhir. Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai perusahaan umum milik negara yang diserahi tanggung jawab untuk mengamankan logistik pangan, berseteru tajam dengan Kementerian Perdagangan terkait dengan kebijakan impor beras. Rencana pemerintah untuk memenuhi kuota impor beras sebanyak 2 juta ton ditentang oleh Bulog karena Bulog memandang jumlah beras yang ada di dalam gudangnya masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sampai akhir 2018. 

 

Apabila dicermati, sumber kisruh terkait kebijakan ini adalah lemahnya tata kelola data di Indonesia yang semestinya dijadikan sumber utama pengambilan kebijakan. Dalam salah satu keterangan yang disampaikan kepada media, Dirut Bulog Budi Waseso mengatakan dengan gamblang bahwa belum ada data valid soal produksi beras baik dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, maupun instansi terkaitnya. Bulog dan Kementerian Perdagangan pun memiliki data sendiri terkait dengan stok beras yang menyebabkan pengambilan kebijakan menjadi tidak akurat. 

Sebelum polemik terkait kebijakan impor beras, masyarakat juga pernah disuguhkan drama kisruhnya data kemiskinan, utang luar negeri dan data pemilih tetap (DPT). Prestasi pemerintah menurunkan prosentase angka kemiskinan di bawah 10% pada tahun ini sedikit ternoda oleh kritik beberapa pihak yang mengaku memiliki data valid terkait dengan jumlah penduduk miskin. Hal yang sama juga terjadi pada data utang luar negeri Indonesia yang dikatakan meningkat tajam dan permasalahan DPT ganda yang sumbernya dari data induk administrasi kependudukan. Seluruh permasalahan yang sangat sensitif tersebut dapat dikatakan bermuara pada lemahnya tata kelola data pemerintah.

 

Jauh sebelum berbagai permasalahan terkait data mengemuka, Presiden Jokowi sebenarnya telah mengingatkan para jajarannya untuk memperhatikan tata kelola data yang dihasilkan oleh instansi pemerintah. Pada peresmian rapat koordinasi teknis sensus ekonomi tahun 2016, Presiden menyampaikan arahan bahwa data harus akurat dan tidak boleh berbeda beda agar tidak menyulitkan dalam pengambilan kebijakan. Pengambilan kebijakan tanpa didasarkan pada data yang akurat dan mutakhir tidak hanya akan menyebabkan kesalahan pada saat mengambil keputusan, tapi juga pemborosan alokasi sumber daya dan tidak tercapainya tujuan yang akan dicapai melalui kebijakan tersebut. 

 

Selama ini pemerintah banyak bergantung pada Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik untuk memenuhi kebutuhan data maupun mengatur tata kelolanya. Namun demikian, dengan banyaknya permasalahan yang belakangan ini yang seringkali muncul, banyak pihak menyatakan bahwa implementasi undang-undang tersebut belum mampu menjawab kebutuhan pemerintah terhadap data. Perlu terobosan perbaikan tata kelola yang lebih baik untuk mendukung kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

 

Terobosan yang perlu diambil oleh pemerintah tersebut paling tidak harus mencakup perbaikan pada dua aspek, yaitu aspek tata kelola dan kelembagaan. Pada aspek tata kelola, pemerintah perlu menetapkan ketentuan tentang standar data dan kewajiban agar data yang diproduksi tersebut dapat saling dipertukarkan antarinstansi pemerintah secara mudah. Apabila data yang dihasilkan oleh pemerintah tidak menggunakan satu standar yang sama, maka tujuan untuk menciptakan basis data tunggal tidak akan mungkin tercapai. 

 

Data yang telah standar tersebut juga harus memenuhi kualifikasi teknis supaya berbagai instansi pemerintah dapat saling berbagi pakai. Sehingga kapan saja diperlukan untuk pengambilan keputusan, data tersebut dengan mudah dapat diakses oleh instansi yang membutuhkan. Hal ini penting karena terkadang kebijakan harus diambil pada saat yang genting dan dalam waktu yang cepat. Dengan kemudahan berbagi-pakai, satu instansi pemerintah tidak perlu mengajukan permintaan kepada instansi lainnya saat membutuhkan data ketika akan mengeluarkan kebijakan. Sehingga kebijakan dapat segera diambil dalam waktu yang cepat dan tepat.

 

Sedangkan dari aspek kelembagaan, pemerintah perlu menetapkan aturan tentang produsen data. Produsen data adalah satu-satunya instansi pemerintah yang ditugaskan untuk menghasilkan data tertentu. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan data produksi beras nasional ditunjuk satu produsen data yaitu Kementerian Pertanian. Instansi pemerintah lain tidak diperkenankan untuk memproduksi data tersebut dan wajib menggunakan data yang berasal dari Kementerian Pertanian. 

 

Sedangkan, untuk menjaga kualitas datanya, pemerintah dapat memperkuat kewenangan BPS untuk mengawal data yang dihasilkan oleh produsen data telah sesuai dengan standar dan metodologi yang sahih. Hal ini berlaku juga untuk data yang bersifat spasial atau kewilayahan yang pembinaannya dapat diserahkan kepada Badan Infromasi Geospasial (BIG). Hal ini perlu dilakukan karena banyaknya instansi pemerintah yang juga memproduksi data spasial, misalnya data tentang tata guna lahan dan luasan sawah. Kesatuan antara data tematik dan spasial akan sangat membantu pemerintah untuk mengambil kebijakan yang berbasis data yang akurat.

 

The Economist pada Mei 2017 merilis artikel penting yang berjudul The World's Most Valuable Resource is No Longer Oil, But Data. Pesan dari artikel ini jelas, bahwa data menjadi sumber daya yang sangat penting bagi setiap entitas yang melakukan pengambilan kebijakan, baik di sektor publik maupun privat. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera menangkap momentum ini untuk memperbaiki tata kelola data yang saat ini masih carut marut. Tampaknya, slogan Sumpah Pemuda yaitu Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa perlu diterapkan untuk kebijakan Satu Data di Indonesia.

 

Hendra W. Prabandani alumnus University of North Carolina School of Law, pegiat Forum Masyarakat Data untuk Pembangunan

 

Artikel ini telah terlebih dahulu dipublikasikan di:

https://news.detik.com/kolom/4252084/darurat-tata-kelola-data 

Subjek : tata kelola data -

Penulis : Hendra Wahanu Prabandani, S.H., LL.M.